14 Mei 2008

Blog Pawon Sastra Diluncurkan

Artikel berikut saya kutip dari http://harianjoglosemar.com dengan tanpa mengurangi atau menambah tulisan di dalamnya. Saya berharap ini akan bermanfaat bagi pembaca.

Rumah sastra sebagai salah satu komunitas sastra dan para sastrawan di Kota Solo, kembali membuat gebrakan baru dengan melaunching pawonsastra.blogspot.com. Blogspot sebagai media sosialisasi bulletin Pawon Sastra bermaksud mengedepankan keberadaannya sebagai media ekspresi dan kreativitasan dari para penulis yang pantas diperhitungan bagi Kota Solo khususnya dan dunia penulisan di Indonesia. Termasuk juga forum komunitas bersifat elektronik yang dapat dipakai untuk memperkenalkan tulisan-tulisan para penulis dan agenda program Rumah Sastra.

Joko Sumantri pendiri Rumah Sastra, Petoran Jebres, mengemukakan bahwa acara yang digelar bersamaan dengan momen Valentine’s Day di Rumah Sastra dan syukuran tumpengan tersebut sesungguhnya sangat terlambat. “Seharusnya blogspot dilaunching saat ulang tahun Pawon Sastra yang pertama, 29 Januari lalu,” ujarnya. Namun, kesibukan dari para pengurus Pawon yang menjadi salah satu kendala, dan baru terealisasi di bulan Februari ini.

Lebih Lanjut Joko menjelaskan bahwa kehadiran blogspot yang akan senantiasa diupload sebulan sekali akan mampu memfasilitasi para penikmat sastra dengan sajian berbagai tulisan dari para penulis Solo dan sekitarnya. Penulis-penulis itu adalah Kabut, Tia Setiadi, Riri dan Agus Manaji. Baik itu karya berupa artikel, puisi, cerpen dan juga esai.

“Agenda-agenda kegiatan yang akan dibuat Rumah Sastra pun bisa diakses di blog tersebut,” tutur Joko. Ia juga menambahkan di antaranya adalah kemah sastra sebagai salah satu agenda terbaru dan mendekati hari H, yang akan diadakan 20-23 Maret bertempat di Padepokan Lemah Putih Mojosongo. Kemah yang diharapkan diikuti oleh para pelajar, mahasiswa dan umum sebagai proses pembelajarn sastra yang santai, egaliter, dan segar. Sehingga pada akhirnya akan meningkatkan relasi posiitif antar penulis di Solo, antara pelajar dan mahasiswa, juga calon penulis yang selama ini terkesan takut menulis dan merasa kesulitan untuk memulai suatu tulisan entah dengan bentuk apapun juga. (qds)

Rumah Pramoedya Diusulkan Jadi Cagar Budaya

Berikut ada sedikit kabar gembira bagi dunia sastra kita. Artikel ini sengaja saya kutip dari http://www.kompas.com karena saya menganggap ini sangat penting bagi kita yang menggeluti dunia sastra yang akhir-akhir ini mulai menggeliat. Dan tanpa mengurangi rasa hormat saya sedalam-dalamnya maka saya tidak mengubah isi dari artikel tersebut. Selain itu, saya tetap memuat sang penulisnya. Semoga bermanfaat. Amin...

BLORA, SENIN
-Pemerintah Kabupaten Blora mendukung dan siap mengusulkan rumah sastrawan Indonesia berkelas dunia, Pramoedya Ananta Toer, di Jalan Halmahera Blora, menjadi cagar budaya. Dalam waktu dekat ini, ia akan meminta Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora membentuk tim pengkaji .

Demikian dikatakan Bupati Blora Yudhi Sancoyo seusai membuka Lokakarya Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Publik dalam Menangani Bencana di Blora, Senin (5/5). Tanggapan itu terkait dengan permintaan sejumlah peserta diskusi Peringatan Dua Tahun Meninggalnya Pramoedya pada 30 April.

Waktu itu, salah seorang peserta diskusi Tejo Prabowo didukung Pastor Gereja Paroki Santo Pius X Blora Tri Budi Utomo, Pr, mengusulkan rumah sastrawan yang pernah dua kali dicalonkan sebagai penerima Nobel itu dijadikan cagar budaya. Pasalnya, selain bangunannya relatif tua, rumah itu menjadi saksi bisu kehidupan sastrawan Generasi 45 asal Blora.

Mereka menilai rumah itu dapat menjadi sumber inspirasi penggemar Pram dan karya-karyanya. Tempat itu juga dapat menjadi ruang terciptanya pendidikan karakter para remaja sekarang ketika mengenali Pram secara lebih dekat.

Yudhi menangkap gagasan itu sangat luar biasa, karena nama Kabupaten Blora dapat turut terangkat. Ia berharap rumah itu menjadi referensi yang lengkap tentang Pram, menyangkut perjalanan hidup, karya-karya sastra dan jurnalistik, pemikiran, serta spiritulitas hidupnya.

Meskipun demikian, disadari bahwa untuk mewujudkannya bukan perkara mudah karena diperlukan pengkajian budaya, sejarah, dan pertimbangan para ahli yang berkompetan di bidang itu. Kajian itu juga membutuhkan data dari saksi hidup yang mengetahui sosok Pramoedya. Pada akhir proses nanti, pencetusan itu harus mendapat persetujuan dari Departemen Pariwisata dan Kebudayaan.

"Pemkab Blora melalui Kantor Pariwisata dan Kebudayaan berjanji akan mewujudkan hal itu. Dalam waktu dekat ini, saya akan meminta mereka membentuk tim pengkaji," kata dia.

Rumah Pram didirikan M Toer, ayahnya (1922-1925, yang di dalam buku-buku "biografi" Pram disebut-sebut sebagai aktivis Taman Siswa. Rumah yang masih didominasi kayu jati itu sudah direnovasi dua kali pada 1954 dan 2003. Saat ini, rumah itu menjadi tempat tinggal adik-adik Pram, Soesilo Toer dan Waluyadi Toer.

Secara terpisah, Soesilo Toer (71) menyambut baik gagasan itu. Ia dan keluarga besar Toer juga berkomitmen tidak akan menjual rumah dan tanah itu. "Pencanangan cagar budaya itu membuat rumah tetap utuh dan lebih terlindungi, termasuk juga di dalamnya kisah hidup, karya, dan pemikiran Pram," kata dia. (HEN)

Alb. Hendriyo Widi Ismanto

Dariku Yang Mati

selembar kertas di ujung senja
secangkir kopi dengan setia menemani
ujung penaku menancap tajam
berkeliaran liar memburu kata
membumikan kata firman
yang terlampau jauh di awang-awang
sejenak kepulan asap rokok membumbung
lantas otakku terpenjara
sebab tak aku temukan makna
antara kebebasan dan pembebasan
mungkinkah negeri ini belum terbebaskan?
sebab, selamanya aku hanya menghamba
tanpa harga diri
tanpa cukup gaji
hanya daki
bercampur peluh
aku mencebur dalam pergulatan sang waktu
mencipta dimensi yang tak pernah aku ingini
sebab, sejak lahirku aku terbebas
dan kini
ijinkan aku membebaskan diri
sebelum negeri ini benar-benar
tergolek lemah
sebatang rokok kini terbiar
di atas asbak tembikar
aku terbakar
dan yang sempat ku tulis
sebelum aku pergi
'maafkan aku yang terlalu cepat pergi, istriku'

Ribut Achwandi_Komunitas Godhong

Muhammad





















Oh Muhammad,
yang menebar cahaya kasih ilahi,
yang mengajari cinta di atas gersang padang,
yang meluruskan hati dengan pedang cinta,
yang merapatkan shaf dalam penghambaan cinta,
Al fatihah bagimu,
agar syafaat tercurah bagi kami
rumpun doa-doa
yang kami jumputi dari wewangi
bunga-bunga taman ujung hari
maka urapilah jiwa kami dengan wewangi kesturi
agar pantaslah kami mendudukkan
diri kami tepat di sampingmu

Oh, Muhammad
tuangilah cawan-cawan kosong kami
dengan air murni zam-zam
agar mampu kami berkaca padanya
sehina apakah diri kami

Oh Muhammad,
yang membukakan pintu-pintu kasih
gerbang yang kau tunjuk
di sanakah Tuhan akan menanti kami?
ajari kami, agar Tuhan tersenyum pada kami
sebelum benar-benar kami
sampai di depan gerbang

Seekor Kutu di Balik Rambut Sang Nabi



Aku hanya seekor kutu
yang bersembunyi di antara ribuan helai
rambut sang nabi
yang menyusup di balik sabda
yang dengan diam-diam menguping
dan menyontek setiap kalimat
tapi aku hanya seekor kutu
toh akal tak guna pula
sebab bebal aku
sebagai seekor kutu
manalah mungkin
aku mampu berpikir

06 Mei 2008

Buruh Tinta

Suatu pagi yang membosankan, yang ku temui masih saja sama dengan kemarin dan hari-hari yang telah aku lalui, pada jam yang sama dengan kemarin, pada tempat yang tak jauh beda dengan kemarin lusa. Selalu. Sekelompok anak manusia berjalan di antara dinding tebal dengan ketinggian yang kurang lebih antara 40 hingga 50 meter kira-kira. Dengan tas yang lekat di punggung mereka dan langkah mereka yang tampak terburu-buru. Sesekali terdengar renyah tawa mereka. Sebentar aku pejamkan mata, berharap semoga pemandangan ini segera berganti. Namun nihil. Sepertinya waktu kian melambat, seiring usianya yang kian renta. Ataukah karena langkah-langkah mereka itu? Tapi bukan. Entah aku merasa sesuatu telah mengubah jalan pikiranku tentang waktu. Mungkin karena aku telah bosan hidup di dunia ini? Atau karena aku terlalu banyak menyaksikan indahnya taman di tengah kota yang kini mulai ditanami gedung-gedung pencakar langit? Atau aku kehabisan gunung yang ingin aku daki lantaran telah banyak kompleks perumahan dan villa di sana? Entahlah.

Dulu aku pikir hidup ini indah. Kadang aku tak mau berbagi dengan yang lain karena saking indahnya. Aku jadi makhluk paling egois waktu itu. Ketika di pantai tak boleh satupun anak yang boleh menyelami ombak dan bermain dengan buih-buih mungilnya. Dan ketika aku pergi ke puncak, sedikitpun aku tak membolehkan saudaraku, adikku satu-satunya berbaring sembari memandang langit yang dipenuhi bintang. Selalu aku katakan padanya, “Semua bintang itu milikku.” Kalaupun ada bulan, maka bersegera aku merebutnya dan mengantonginya ke dalam retina mataku.

Sekarang, yang tersisa asap rokok, bau alkohol dan berbagai aroma yang bertumpang tindih dalam sebuah kotak yang digerakkan mesin disel. Sama sekali aku tak dapat menikmatinya. Aku harus turun manakala di tempat tujuanku. Dan memang aku agak sebal dengan hal-hal semacam ini. Sekali waktu aku justru memutuskan untuk turun sebelum tempat tujuanku. Aku mual. Bau alkohol yang keluar dari mulut pengamen yang menyanyikan lagu-lagu yang sebelumnya tidak pernah aku kenal. Mungkin dari sekian pengamen yang pernah aku temui hanya ada satu yang aku gandrungi.

Ketika itu malam masih menyisakan sedikit waktu. Seorang pengamen yang tak pernah aku kenal namanya, menyanyikan sebuah lagu Belum Ada Judul-nya Iwan Fals. Aku takzim benar. Seluruh bagian dalam telingaku khusuk mendengarkan lantunan itu. Dari satu nada menjadi dua, dari dua nada menjadi sepuluh, hingga ujung nada terakhir aku dengarkan semuanya. Bahkan aku tak menghirau sebelah tempat dudukku. Seorang perempuan malam tengah menangis di sebelahku. Entah kenapa? Tiba-tiba saja ia menyandarkan kepalanya tepat di pundakku. Sepertinya ia tengah melabuhkan segala beban pikirannya yang berkecamuk. Dan ketika semua kembali larut dalam kebisuan yang terdengar olehku hanya suara isak tangis yang ia tahan dan raungan mesin tua. Tak berapa lama, ia tersadar.

“Maaf ya mas.” Katanya dengan wajah merah dan mata yang sembab.

Aku hanya diam.

“Lagu itu benar-benar mengingatkanku pada seseorang.” Rupanya ia ingin membuka kembali pembicaraan yang terputus.

“Teman, Mbak?” tanyaku sekadar membasahi bibir.

Ia mengangguk dengan helaan nafas dalam. “Sudah lama kami tak bertemu. Terakhir ketemu, ia mati dilindas kereta api. Mengenaskan.” Matanya kembali sembab, dan bulir air mata kembali meleleh, menganak sungai di pipinya.

Aku tak berani menatapnya lagi. Kutundukkan kepala.

“Padahal, waktu itu sudah aku bilang, jangan pernah merasa dirimu itu kesepian. Kau masih punya teman. Tapi ia tetap saja tak mendengar. Dan yang paling menyakitkan, ia justru bilang padaku, aku tak punya teman sekotor kamu.”

Aku semakin tak berdaya. Tangisnya membuatku berpikir jauh menerawang ke dalam sebuah gelombang putaran waktu yang semakin jauh ke belakang. Dalam belantara ingatan aku kembali menyusuri setapak kisah yang aku pendam lama. Terlalu lama. Bahkan mungkin aku lupa karena begitu banyak persimpangan kemudian yang aku buat. Lekuk setapak ingatan itupun sering kali membingungkan. Dan kutemui sebuah nama di sana. Robert. Ialah teman ketika kami sama-sama belum mengenal betul dunia. Entah kini kemana? Aku telah meninggalkannya jauh-jauh. Dan siapa kira kemudian aku akan hidup di sini. Di tempat yang sangat jauh darinya. Sebuah kota dengan pemandangan yang menawarkan surga bagi tiap penghuninya. Namun tak luput pula di sisi lain, aku merasa ini adalah neraka.

Suatu malam, di temani tetesan air sisa hujan, di dalam kamar aku sempat berpikir untuk segera enyah dari kota ini. Tapi tidak. Aku tidak bisa meninggalkannya. Karena aku ingin hidup. Dan sampai pagi ini kembali pun aku tetap ingin hidup. Meskipun asap timbal aku kira sudah memenuhi rongga paru-paru dan virus penyakit telah menjangkiti darahku.

Sungguh pagi yang sangat membosankan. Dan kenapa aku harus membuka ingatanku kembali? Toh, tetap saja tak membuat pemandangan di depan mataku berubah. Tetap saja mereka. Satu-satu wajah mereka mulai aku kenali. Ku lambaikan tangan, dan menyapa mereka di pagi yang membosankan ini. Ya, mereka inilah temanku. Tak apalah, jauh dari Robert.

“Ada kabar?” tanya Inay.

“Tidak.” Jawabku. “Aku sedari tadi menunggu tetap saja tak ada kabar.”

Ini hari kedua setelah aku harus mengistirahatkan diri dari segala pekerjaanku. Tentu aku tak begitu tahu apa yang tengah bergemuruh di luar sana ketika aku tak lagi menarikan penaku dan memutar otakku.

“Sudah baikan?” tanya Inay.

“Aku rasa tidak ada yang perlu diperbaiki.”

Ya, aku pikir segala sesuatu tidak selamanya harus diperbaiki. Sebab, banyak hal yang kemudian teramat sulit untuk aku pahami. Bahkan sampai saat ini aku pun tidak sepenuhnya mampu menerjemahkan arti kata pekerjaan. Yang ku pahami dari sebuah logika tentang pekerjaan kini hanyalah mengerjakan sesuatu sesuai dengan perintah. Aku hanya menjadi aneksasi dari sebuah perusahaan. Aku hanya boneka permainan pengusaha dalam memainkan peranannya sebagai kepanjangan tangan untuk meraup keuntungan besar bagi mereka.

“Ini surat kontrak Anda. Mohon tanda tangan di bawah sini.” Jari lembut perempuan yang kemudian ku kenal bernama Surti pun menunjuk dan mengacungkan sebuah ballpoint kepadaku.

“Dan ini ketentuan yang berlaku di perusahaan kita.” Suaranya lembut selembut bibirnya yang tipis.

Tiba-tiba suara langkah lari kecil menghampiri dari arah belakangku. Kian mendekat dan semakin mendekat. Aku kenali langkah ini. Suara itu menabrak ke daun telingaku dan mulai merambat ke rongga telinga dan mengirimi pesan ke dalam gendang telinga, lalu merambatlah sampai ke dalam otakku.

“Ada demo!” seru suara perempuan yang tak lain ia, Restu.

Aku bergegas membalikkan badan dan segera menghampirinya.

“Demo?” tanya Prio.

“Di mana?”

“Siapa?”

“Masalah?”

“Kapan?”

“Berapa orang?”

Semua tanya bertubi dengan satu jawaban, “Sebentar lagi datang.” Kata Restu.

“Ikut?” tanya Inay padaku.

Tanpa kujawab, aku pun langsung melebarkan jenjang kaki dan berpacu dengan detik-detik yang tak menentu. Membuang batang rokok, dan mengangkat tas ransel kehidupanku. Ya, di dalam tas itulah aku titipkan nyawa entah keberapa yang aku punyai. Sekadar menyambung penderitaan yang semakin tak jelas ujung rimbanya. Penderitaan? Kenapa pula aku sebut hidup penderitaan? Aku jadi ingat sebuah buku yang pernah aku baca. Dalam tulisan buku itu menyebutkan, kehidupan yang sebenar-benarnya hidup ialah kematian. Dan kehidupan di dunia ini adalah kematian. Karena di dalam kematian ruh terlepas dari beban dunianya, terlepas dari kungkungan keinginan jasmani. Dan ruh tak butuh itu semua. Ia akan kembali menyatu pada empunya. Tuhan. Ah, semakin aku merinding dibuatnya.

Kadang sempat terpikir olehku, kalau memang demikian, apalah artinya hidup? Apakah hanya menuruti kebutuhan jasmani? Atau justru mencoba mendobrak pintu-pintu penjara ruhani? Membebaskannya dari kungkungan jasad yang semakin merenta. Membebaskan dari segala penderitaan. Atau hanya menunggu? Ah, Tuhan berikan aku jawaban pasti. Sementara waktu tak mau menunggu terlalu lama.

Di depan puluhan manusia berseragam bertampang seram menghadang. Pagar gedung kantor walikota pun ditutup rapat. Sepertinya ada sesuatu yang sengaja disembunyikan. Entah apa itu? Aku tak mau mempedulikannya. Yang ku tahu di sekitar jalan depan gedung itu seorang petugas kulihat dimaki seseorang yang menunggangi kendaraan mahalnya. Sebuah mobil mewah berwarna merah dengan simbol kuda jantan.

“Saya mau masuk!” kata seorang lelaki berkumis lebat dari dalam mobil.

“Tidak boleh, Pak. Bapak hanya dibolehkan memutar dan lewat pintu belakang, Pak.” Kilah si petugas berseragam lengkap.

“Ini urusan penting!”

“Tetap saja Bapak harus lewat pintu belakang.”

Merasa tersinggung lelaki setengah baya itupun turun dan tambah membentak, “Menghina kamu! Saya tidak biasa lewat belakang. Kamu belum tahu saya ya? Mana komandan kamu?” dadanya kian membusung dan tatapan matanya kian liar. Ada bara yang segera tersulut menjadi api di dalam hatinya.

Aku hanya tersenyum kecil melihat pemandangan itu. Dalam pikiranku, hebat betul si pak tua ini. Begitu kebal dengan seorang petugas. Ah, apa peduliku. Toh, begitulah kira-kira potret kehidupan. Kemenangan hanya kepunyaan mereka yang memiliki kuasa. Dan aku, siapa aku? Aku hanya bisa tertawa kecil ketika memandangi diriku dalam ketelanjangan pikiranku. Ketika aku membiarkan diriku meliarkan diri. Dan saat ini aku hanya seekor binatang liar yang bernama manusia. Yang salah menempatkan diriku dalam kandang dunia yang sedemikian mencengangkan. Di tengah rimba yang dipenuhi gedung tinggi lebat dengan akar-akar kuatnya yang menjuntai dan menyeramkan. Ah, aku jadi ingat pulang ke rumah. Di kota kecil yang tak terlalu dilebati oleh gedung-gedung tinggi. Teringat pula wajah Ibu yang sesekali hadir dalam mimpi-mimpi malam. Bercerita tentang menderitanya ia karena banyaknya hal yang ia hadapi dalam kesendiriannya yang telah lama ia alami. Kadang ia ceritakan pula kebahagiaannya ketika ia mendengar mendapatkan pekerjaan di kota ini.

“Heh, itu mereka!” seru Inay.

Sontak aku terkaget.

Dan jadilah sebuah berita besar yang kemudian muncul di televisi, koran, radio dan beberapa majalah. Benar saja, ribuan orang ini memang sempat membuat gempar. Seisi kota sepertinya tumpah ruah ke jalan. Tercecer. Mandi dalam kolam dunia dengan panas matahari kota yang jelas tak seakrab dengan kota ku yang kecil. Keringat dan ingar-bingar koar orang-orang yang meneriaki walikota, menuntut mundur dari jabatannya. Dalam pikiranku hanya sederhana saja, kalau memang walikota mundur, siapa yang mau menggantikannya kalau tahu ketika ia duduk di atas kursi panas itu hanya untuk mundur juga.

“Ya, kalau walikota nggak bisa ngurus masalah buruh ya mundur saja! Percuma dong kami percayakan ke dia. Wong dianya nggak mau ngerti nasib buruh.” Kata salah seorang pendemo. “Tolong ya mas, mbak sampaikan pesan kami ini sebagai buruh. Atas nama perjuangan buruh. Atas nama demokrasi!” sambungnya.

“Negeri ini, kota ini kadung sakit mas, mbak. Orang-orang yang duduk di sana hanya memikirkan perutnya sendiri.” Sahut yang lain.

“Ganti saja!”

“Copot!”

“Mundur!”

“Mundur!”

“Mundur!”

Entahlah, dari mana mulanya mereka sedemikian memaksa walikota ini untuk mundur. Mereka begitu bersemangat untuk meneriakkan kata ‘mundur’. Entah, apa mereka benar-benar mengerti konsekuensi dari kata ‘mundur’ itu sendiri atau malah sebaliknya, tak tahu apa-apa jika walikota benar-benar mundur. Ah, yang penting aku catat saja dulu. Semuanya. Dan jangan sampai satupun terlewat. Sebab di luar sana ada banyak manusia yang tengah menunggu sejauh mana berita ini kemudian akan beredar.

Kadang aku tak habis pikir, kenapa mereka sebegitu marahnya. Apakah karena memang mereka merasa dicundangi kekuasaan? Ataukah karena ada sulut api yang membakar mereka? Sedang aku dan kawan-kawan seolah tak punya hak untuk melakukan hal yang sama. Ketika kami dikebiri oleh penguasa-penguasa kami. Yang boleh kami lakukan hanya menulis dan menulis tentang nasib ibu-ibu yang merana karena tak mampu membeli beras, tentang bapak-bapak yang tak lagi mampu membiayai sekolah anaknya, tentang pahlawan yang tak diperhitungkan jasanya dan segudang nasib yang sedemikian terpuruknya.

Suatu ketika aku ingat, di siang yang disirami sengat matahari, puluhan ribu petani menggeruduk kantor gubernur. Mereka minta kejelasan hak atas tanah garapan mereka yang dikuasai oleh sebuah perusahaan perkebunan ternama. Aku catat peristiwa itu sebagai peristiwa pencabulan massal atas keringat petani. Dengan judul besar aku buat tulisan itu karena semata aku ingin mengungkapkan kegundahan puluhan ribu petani yang harus menangisi nasib mereka. Paling tidak, saat itu rasa kemanusiaanku muncul karenanya. Namun terkadang kemanusiaan juga sangat sulit untuk dapat dimengerti. Aku justru dituduh telah melakukan provokasi. Aku ditikam teman sendiri.

“Berita sampah macam apa ini?” ujar kawan sekantor dengan nada mencibir.

“Maksudmu?”

“Lihat. Tulisanmu ini tidak laku di koran kita. Kau cuma buang-buang energi untuk menuliskan ini semua.”

“Buang-buang energi?”

“Ya, coba tengok. Apa perlunya kau bikin berita macam ini? Dan siapa pula yang sudah kau kritik habis-habisan? Bodohnya kau!”

“Ini fakta Bang! Puluhan ribu petani menangis karena perusahaan raksasa itu.”

“Hei, aku ingatkan kau sekali lagi. Jangan pernah singgung nama besar perusahaan ini. Ingat itu!”

“Ini fakta!”

“Heh, minta didor kau?”

“Lantas apa gunanya?”

“Masih juga bertanya kau?”

“Aku butuh penjelasan Bang.”

“Belum cukup kuat penjelasanku? Bagaimana kalau mulai hari ini kau istirahat dulu? Aku tidak mau dengar tulisan-tulisan kau yang bikin provokasi itu.”

“Heh Bang, kita sudah berjuang bertahun-tahun Abang justru main tikam teman. Sudah gila kau Bang? Yang benar saja Bang? Kita mau main apa? Politik? Bisnis? Atau Abang sedang cari muka?”

“Heh, sekali kau ngomong soal ini lagi aku tak segan-segan memecat kau. Ingat itu! Sekarang enyah kau dari muka aku! Enyah!”

“Omong kosong apa ini Bang?”

“Supri! Panggilkan satpam untuk wartawan gila kita ini. Aku sudah muak lihat dia punya muka!”

“Bang, dosa kau Bang!” aku berusaha meraih lengannya namun beberapa orang telah menghalangiku.

“Supri!” lantang ia memanggil.

“Aku belum selesai bicara! Bang! Bang!”

Dan kapanpun pembicaraanku tempo hari tak akan pernah selesai. Sebab, sesuatu telah merusak keteguhan imanku untuk meyakini tentang kemanusiaan dan kebenaran. Sekarang, haruskah aku tulis dengan kemanusiaan?

Ribut Achwandi_Komunitas Godhong

23 April 2008

Doa Seorang Koruptor

'ssstt...istriku sedang tidur...
Tuhan, tolong jangan Engkau tegur aku
dalam hentakan halilintar
aku takut istriku segera bangun
karena aku tak tega melihat ia
dengan janin dirahimnya ikut terbangun'

'sekali ini Tuhan,
jangan Engkau kirim aku
sepasukan orang berseragam
lengkap dengan pistol dan borgol
gedor rumahku
sebab, aku tengah menunggui istriku
terbangun pagi nanti
agar dapat aku minta ia izinnya
besok pagi aku tidak dapat menemaninya
tak perlu banyak kata
izinku cukup terwakili dengan borgol
di pergelangan tanganku
dan sebandel uang di loker
serta beberapa nomor rekening
cukup pula untuk membahasakannya'

'dan satu hal lagi Tuhan,
aku ingin Engkau bisiki saja aku'

[Ribut Achwandi_Komunitas Godhong]

22 April 2008

Rindu Duri

rindu duri
setapak
malam kelam
dering lonceng
kleneng
ada burat jingga
di langit
engkaukah
yang datang
rindu duri
mata lelap
kesenyapan
menyapa
entah angin
ataukah embun pagi
rindu duri
ada yang tak lengkap
sarapan pagi
panggang roti
dan daging berlumur mentega
siapakah yang tengah melenyapkannya
oh rinduku
berduri

[Ribut Achwandi_Komunitas Godhong]

Kejujuran Itu Mahal Harganya

Kejujuran di negeri ini memang harus diakui sudah menjadi barang yang sangat mahal harganya. Ia kemudian seolah menjadi barang antik yang menyimpan berbagai keunikan. Sebab, kejujuran sudah terlalu langka untuk dapat ditemukan di negeri ini. Mari kita melihat sebentar pada sebuah kenyataan yang ada. Bayangkan dan coba pikirkan, di negeri ini untuk menjamin kerahasiaan dan mengantisipasi kebocoran soal ujian, dinas pendidikan kita terpaksa harus 'sewa' polisi untuk melek selama 24 jam hanya untuk menunggui tumpukan kertas soal. Jelas, ini tidak murah ongkosnya. Namun kenapa hal ini harus dilakukan, lebih-lebih untuk sebuah tujuan mulia negeri ini yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa ini?

Saya jadi berpikir, untuk sebuah tujuan pendidikan saja, kejujuran ternyata susah ditemukan. Lantas bagaimana dengan yang lain?

Jangan-jangan, memang bangsa ini memang sudah tidak mampu mendidik atau justru sebaliknya tidak mau dididik tentang kejujuran? Karena, untuk lembar-lembar soal saja pemerintah harus bayar mahal dengan menugasi polisi untuk bergadang menunggui soal-soal. Kasihan polisi juga kan? Tentu, ia juga punya keluarga yang lebih membutuhkannya. Keluarga yang menginginkan kehangatan dengan kehadirannya di tengah-tengah mereka lebih-lebih setekah jam kerja. Apa kita tidak kasihan pula kalau suatu waktu nanti itu polisi terserang penyakit. Siapa yang akan menggantikan tugasnya sebagai seorang kepala keluarga? Anda? Tentu, tidak bukan? Nah, saatnya yuk kita jujur....

Saya yakin, kita mampu kok belajar jujur dari pada belajar untuk tidak jujur. Sebab, ketidakjujuran itu sudah tidak patut untuk dipelajaro lagi. Itu ilmu kuno. Bahkan itu sudah sering kali kita hafalkan benar. Setiap hari kita sudah langsung praktik tanpa teori. Saya tidak akan menuduh siapa-siapa. Sebab dengan menuduh itu sama artinya kita tidak jujur. Nah, ayo semuanya....mari kita ulang pelajaran membaca kita dari awal kita mengenal bangku sekolah. Sebab, ketika kita mulai belajar mengeja ada sebuah ketulusan di sana.... Anda mau kan belajar jujur?

Tentang Sebatang Rokok

kreket....kreket....
dompet kumal ku buka
selembar uang ku tukar
dengan kematian
sebungkus rokok,
korek api,
sisanya permen dan air mineral
satu botol

kresek...kresek....
ku buka segel plastik
berbenang merah warnanya
set....
satu batang rokok
aku hunus dari bungkusnya

lalu,

jres....
nyala api menyambut
kretek...kretek....
asap pertama
mengepul

'siapa kira
kita akan dipertemukan lagi' katamu

'ah, biasa sajalah
mumpung hari belum
terlalu menyeret matahari
hingga memaksanya tak menyembul lagi'

'apa kabar dunia?
kau dengat kabarnya hari ini?' tanyamu

'aku dengar
dunia tak lagi bersuara'

'kata siapa?' aku balas tanya

'banyak orang membungkamnya
dunia tak boleh membeberkan
rahasia Tuhan' katamu

'sebab
sekali terbongkar,
musnahlah kehidupan
dan
manusia tak lagi punya pekerjaan'

'bukankah manusia sedang sibuk
mengorek rahasia Tuhan?' tanyaku

'mereka sedang sibuk
mengakui dirinya benar
mereka sibuk berkampanye
tentang kebenaran versi mereka sendiri
mereka sibuk membungkam kesaksisan dunia'

'lantas kemana Tuhan?'

'Tuhan....?
Tuhan jadi barang jualan manusia
mereka seolah bertempur
atas nama Tuhan
tapi siapa yang tahu
mereka tak sedikitpun menghamba'

'dosa....ini dosa!!'

'dosa?
mereka sudah beragama
kata mereka tak perlu takut
dosa kalau sudah beragama'

'sesat...kau sesat, kawan!'

'aku hanya sedang sakau
ah, kau tak ubahnya mereka
bukankah kesesatan milik mereka
yang mengaku ber-Tuhan
tapi tak mampu temukan jalan
kembali pulang pada-Nya?'

'jangan terlalu sumbar, kawan
nikmati saja rokokmu
dan mari kita lihat
sebentar lagi drama kehidupan
akan semakin ramai'

'lihat!'

'pasar malam segera dibuka
manusia berjualan Tuhan
di sana
mereka juga mengobral surga
diskon 80 persen katanya
dan semua jenis eloknya surga
dipampang di sana'


Ribut Achwandi_Komunitas Godhong

21 April 2008

Secangkir Kopi

secangkir kopi
sebatang rokok
berlabuhlah aku
dalam gelisah

secangkir kopi
pagi yang ditemani
jelaga mendung
masih ada tanya
yang tak kunjung ku jawab

kopi mengendap
lambat laut debulah ia menjadi
merupa dalam pekat
tanah yang menggeliat
oleh sapuan angin
dan hujan turun
tanah becek
ada darah segurat
dalam alir air hujan
siapa terbunuh?
kopi pahit tumpahlah ia
di meja ruang tamu
segerombol orang mencaci
lalu menghakimi
'Dia sesat!'
kata mereka
lalu menyeretku
dan membanting cangkir kopi
secangkir kopi imanku
tak lagi bicara
pahit berganti asin
darah mengucur dari hidung
aku sebentar lagi mati
demi secangkir kopi

Kethoprak "Putri Cina" Semangat Multikulturalisme

Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional merupakan sebuah momentum besar yang akan segera menjadi sebuah titik balik bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi polemik kebangsaan yang akhir-akhir ini kembali mencuat ke permukaan. Pertarungan politik antar kelompok-kelompok tertentu, pertikaian partai dan masalah bagi-bagi kekuasaan yang tidak kunjung mereda malah menjadi semakin memanas. Hal inilah yang kemudian semakin membuat rakyat tidak percaya kepada pemerintah.

Namun sebenarnya, di balik masalah-masalah tersebut ada sebuah masalah yang lebih penting yang mungkin sampai saat ini tidak pernah ada upaya dari semua pihak untuk menyelesaikannya. Bahkan pemerintah sendiri seolah berpangku tangan terhadap masalah ini. Pemerintah justru lebih memasalahkan hal-hal yang lebih bersifat praksis. Masalah ekonomi, politik dengan mengesampingkan masalah sosial dan budaya yang kemudian terkena imbas dari persoalan-persoalan tersebut.

Beberapa kalangan menilai usaha untuk melakukan pelurusan sejarah dalam hubungannya dengan budaya sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk kembali mencari jati diri bangsa ini. Mengingat sejarah budaya bangsa ini semakin hari semakin jauh menyimpang dari fakta-fakta yang ditemukan khususnya hubungannya dengan polemik multikulturalisme antara kutub-kutub budaya yang berbeda yang mau tidak mau harus diakui sebagai pemerkaya khazanah budaya bangsa. Di sisi lain, permasalahan budaya, sejak masa orde baru seolah menjadi masalah yang kesekian. Dengan demikian, masalah-masalah budaya dipandang tidak begitu penting oleh kekuasaan. Padahal, sebagaimana pernah dikatakan oleh Gus Dur, bangsa ini seharusnya dibangun di atas pondasi-pondasi yang kuat bukan pada pembangunan fisik yang lebih menonjolkan aspek rekayasa estetik yang lebih mengesampingkan wilayah filosofis bangsa.

Tampaknya, upaya pelurusan sejarah budaya ini akan semakin menemui kendala besar dari tekanan-tekanan politisi yang mulai bermain dengan kekuasaannya. Namun demikian, secara optimistis kalangan budaya ini tidak pernah menyerah begitu saja. Salah satu bukti yang mungkin dapat dijadikan contoh ialah pementasan kethoprak dengan lakon "Putri Cina" yang merupakan saduran dari novel karya romo sastra Sindhunata yang akan segera dipentaskan di kota nederland kecil, 27 April mendatang. Pementasan yang akan dimeriahkan dengan sederet nama seniman kenamaan sebut saja Marwoto, Kirun, Den Baguse, dan sederet sastrawan papan atas seperti Timur Sinar Suprabana, Triyanto Triwikromo, Darmanto Jatman, Eko Budiharjo, dan sebagainya sepertinya akan kembali menggugah semangat kebangkitan nasional yang akhir-akhir ini mulai surut. Dalam jumpa pers-nya hari kemarin (Jumat, 18 April) Haryanto K. Halim (Ketua Kopisemawis) mengungkapkan, "Rangkaian kegiatan peringatan 100 tahun kebangkitan nasional ini merupakan sebuah reflkeksi kegelisahan budaya yang akan diaktualisasikan dalam sebuah pementasan dan bedah buku 'Putri Cina' karya Sindhunata. Selain itu, rangkaian kegiatan ini sekaligus sebagai upaya penyadaran masyarakat mengenai semangat multikulturalisme yang akhir-akhir ini mulai surut."

Bahkan Triyanto Triwikromo yang hadir dalam jumpa pers tersebut menambahkan, "Persoalan budaya terutama budaya bangsa ini sebenarnya sejak dulu dibangun atas prakarsa bersama yang mengedepankan semangat kebersamaan. Namun dalam perjalanannya dalam sejarah bangsa ini terjadi gejolak yang tidak dapat dinafikkan lagi, selalu ada korban yang harus dijatuhkan demi kepentingan-kepentingan elite politik. Di dalam Putri Cina, Sindhunata kembali menguak tabir sejarah mengenai perjalanan etnis Cina ini yang selalu dijadikan kambing hitam dalam proses politik. Dengan sentuhan rekayasa estetik, kehadiran etnis Cina selalu dieliminir dan bahkan didiskreditkan di hadapan publik sebagai biang kerok carut marutnya bangsa ini. Padahal, tidak sedikit sumbangan yang sudah mereka berikan terhadap budaya bangsa ini. Salah satu buktinya, berbagai bentuk-bentuk kesenian baik itu tari, seni rupa maupun sastra terkadang atau malah sering kali kita jumpai adanya sentuhan oriental yang terwujud baik dari segi kostum maupun elemen-elemen lainnya.Hal yang demikian seharusnya menjadi sebuah pelajaran penting bagi bangsa ini untuk lebih menghargai sesama. "

Dalam perjalanan panjang sejarah bangsa ini memang harus diakui etnis Cina sering dicundangi. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman masa lalu di zaman Brawijaya yang menceraikan istrinya yang notabene seorang putri Cina yang secara tidak langsung juga berpengaruh pada kelangsungan hidup Majapahit selanjutnya. Perebutan kekuasaan yang digerakkan oleh Raden Fatah pun, di dalamnya terdapat wacana mengenai putri Cina ini. Masa penjajahan Belanda, merupakan masa-masa yang sangat pahit bagi pendatang dari jauh ini. Kebijakan pemerintahan kolonial yang mencoba mengkotakkan etnis Cina ini telah melahirkan pertempuran batin yang sengit bahkan ini diwujudkan dalam sebuah tradisi Seton yang diterapkan kalangan kerajaan Mataram Surakarta. Belanda pada masa itu memang telah membentuk pemerintahan yang sedemikian kuatnya. Mereka mencoba memonopoli kekuasaan di segala aspek kahidupan, tidak terkecuali ekonomi. Penguasaan bidang ekonomi ini mau tidak mau telah menautkan masalah-masalah budaya yang dibentuk sedemikian rupa dengan tujuan memporandakan bangunan budaya. Hal serupa juga terjadi ketika masa-masa awal kemerdekaan. Kalangan militer mencoba menyeret pengusaha Cina ke dalam pertarungan politik yang dimotori oleh kekuatan-kekuatan partai. Bahkan, kalangan militer inilah yang kemudian mencoba menjebloskan mereka ke dalam penjara dengan dalih mereka adalah antek-antek komunis koumintang di bawah bayang-bayang Mao. Stigma ini rupanya berhasil dilakukan dan diteruskan sampai masa orde baru yang sedemikian kuatnya. Namun di sisi lain, penguasa orde baru ini juga bermain mata dengan kalangan konglomerat Cina. Ironis memang, namun itulah politik. Di akhir masa era orde baru, etnis Cina kembali menjadi sasaran. Bahkan dengan membabibuta, etnis ini kemudian harus menanggung duka mendalam dari sebuah proses politik yang tidak diketahunya. Bagaimana dengan sekarang?

Saya kira, sudah selayaknya kita mulai berkaca kembali dari sejarah yang carut-marut ini. Dengan demikian diharapkan 'Putri Cina' tidak kembali terpuruk menagis di hadapan perahu Ceng Ho dan meminta sang panglima besar ini untuk mengembalikannya ke tanah asal mereka. Harus diakui etnis Cina merupakan pengelana yang tangguh. Seharusnya pula kita belajar dari mereka. Bahkan dalam sebuah hadist disebutkan "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina." Tentu hadist tersebut memiliki makna mendalam dari sebuah pengalaman nabi Muhammad dan sudah barang tentu pula, Muhammad memiliki alasan yang kuat. Namun kenapa kita tidak pernah mau menggalinya? [Ribut Achwandi_Komunitas Sastra Godhong]

Sang Guru

Ia hidup, entah, pada masa yang sangat sulit untuk dijelaskan, di sebuah tempat yang sulit untuk dikenali pula. Ia, sang Guru, yang melampaui batas-batas zaman dan terlepas dari kendali dimensi. Ia benar-benar manusia pilihan yang mengajarkan segala sesuatu yang tak diajarkan.

Suatu hari, sang Guru yang tengah duduk-duduk di atas batu besar, datanglah seorang petani tua dan bertanya, “Kemanakah hendak engkau pergi, wahai sang pengembara?”

Sang Guru tersenyum, “Aku ingin pergi menuju rumahmu.”

Petani tua tak mengerti.

“Aku ingin menengok anak-anakmu, Pak tua.”

“Anak-anakku?” Tanya si petani tua.

Sang Guru menyila si petani tua itu duduk di sampingnya. “Duduklah sebentar bersamaku. Nikmatilah dulu kuyup keringatmu, lantas biarkan udara yang hangat itu memberi waktu untuk pori-pori kulitmu bekerja menyerap kesegarannya.”

“Tetapi, aku tak punya anak satupun, wahai sang pengembara,” kata petani tua.
Sang Guru tegun. Diam namun garis lekuk pipinya menampakkan terang cahaya. Ulas senyumnya pun tak luput lagi.

Petani tua mengipaskan topi lusuhnya, “Kau sendiri, kenapa tak pernah berhenti mengembara? Tidakkah kau lelah?”

“Ya, karena itulah aku ingin sekali istirahatkan diriku di rumahmu. Dan anggaplah ini sebagai istirahku yang terakhir. Tujuan akhirku.”

“Oh malangnya aku yang tak berpunya ini. Andai kata aku memiliki sepetak tanah, dan sebidang ladang tempatku menanam pohon buah-buahan mungkin akan aku silakan engkau memetiknya beberapa biji. Tapi, jangankan sepetak tanah, pohon tempatku hinggap untuk berteduh dalam terik dan hujan pun tak ku punya. Aku hanya tinggal di sebuah kandang sapi.”

“Kandang?”

“Ya, kandang sapi. Dan di sana pula aku menelentangkan tubuhku dan tempatku mendengkur pula.” Pak Tani terdiam sebentar, udara yang tadi pengap tak dirasanya pula kini. “Sudah bertahun-tahun lamanya, aku hidup dalam serba kesulitan. Tak ada yang berubah kecuali rambut yang kian beruban dan kulit yang mengeriput. Tak ada sedikitpun angina kesegaran yang mengabarkan tentang kabar baik tentang nasib.”

Sang Guru tak sedikitpun berucap kata-kata. Ia membiarkan pak tua itu mencerca hidupnya, nasibnya. Ia membiarkan seperti ia memandangi aliran air sungai yang berujung pada muara. Dan semakin manjadi saja si petani tua itu menyalahkan waktu, mempersalahkan zaman, dan nasibnya yang tak beruntung. Tak ada ruang kosong yang tak ia isi dengan kata. Kata yang meluncur dari mulutnya yang berujar tentang fakta. Fakta yang terlahir dari sebuah keberadaan. Dan keberadaan yang tersaji dari sesuatu yang kasat mata. Lantas ia melumpuhkan sesuatu yang bernama makna.

Sungguhpun demikian, itulah kenyataan. Anak manusia kadang lupa dengan Bapaknya, kadang pula lupa akan dirinya sendiri. Tapi di dalam darahnya, tetap mengalir darah Ibunya. Maka sungguh, seorang anak manusia tak akan mampu melupakan muasalnya. Ibunya. Bukankah susu yang ia minum, ketika bayi, adalah tak lain darah Ibunya? Bukankah pula tempat awal ia mulai terlindungi juga tak lain adalah rahim Ibu? Ya, rahim yang maha kasih. Tempat sang ruh terlindungi dari godaan setan-setan jahanam. Rahim tempat nyawa bersembunyi dari kekejaman dunia.

“Aku terlahir, juga di kandang sapi. Ketika itu Bapak dan Ibuku meninggal seketika begitu mendengar tangis pertamaku. Kata orang-orang, mereka takut, sangat ketakutan akan adanya aku,” kisah si petani tua.

“Kenapa?”

“Kata orang-orang, mereka takut tak dapat mengurusku dengan baik.”

“Mulia betul Bapak Ibumu.”

“Bagaimana bias?” petani tua itu mendadak mendongakkan kepala. Dan berdiri di samping sang Guru.

“Ia lebih memilih mengorbankan diri mereka daripada engkau.”

“Tapi aku sama telantarnya pula.”

“Itulah yang mereka ajarkan padamu. Kasih sayang, belum tentu manis rasanya. Kadang sepah, kadang pula pahit melebih dari kebencian dan dendam.”

“Bukankah itu egois?”

“Kau pernah menanyakan hal itu pada Bapak Ibumu?”

Pak tani tua itu terdiam.

“Bagaimana kau bisa tahu. Barangkali saja itu cara mereka mengajarkanmu. Dan memang itu bukanlah pilihan yang tepat. Tapi itulah yang mereka ingin ajarkan tentang hidup. Kau adalah dirimu sendiri.”

Sesaat diam. Dan angin menyela.

"Izinkan aku bertandang ke dalam hatimu. Sebab, masih banyak yang harus aku temuui di dalam dirimu. Anak-anakmu, keluargamu."

"Bukankah sudah aku katakan, aku tak punya anak dan keluarga."

"Kau memiliki semuanya, Pak tua. Sawah ladang adalah anak-anakmu. Keringatmu adalah keluargamu. Dan rumahmu adalah hatimu tempat Tuhan menanamkan cinta pada ruhmu."

Tiba-tiba hujan deras mengguyur dan sang guru menghilang.

Kata Guruku

seorang guru pernah bilang padaku
belajarlah kau agar pintar

aku semula mengangguk tanpa kata

lalu dia bilang
kalau kau pintar bapak juga ikut bangga

aku mulai tersenyum

kemudian dia cakap lagi
sebab orang pintar dinegeri ini masih sedikit

aku mulai tertawa geli

dan dia bilang
dan semakin sedikit, semakin istimewa pula

aku tertawa

guruku bingung
lalu ditanyalah aku
kenapa kau justru tertawa macam itu

aku jawab dalam hati
saking sedikitnya orang pintar
jelas semakin banyak kesempatan orang
buat korupsi

Tuhan Sedang Libur Panjang

Jalan Raden Saleh belok kanan
lengang tak bersuara
desah air becek di gang yang sempit
sekali terdengar
ada sepasang sandal jepit
menepuk genangan air bekas hujan semalam
tawa bersambut sahut
"Hai ada yang datang"
kata seorang perempuan
sampil menjinjing tinggi
bagian bawah daster berwarna ungu
"mampirlah tuan, kami buka biar hujan begini
24 jam! Non stop!"
Kleneng kleneng
bel becak membahana
bersambut tawa yang membelah kepingan sepi
"Ayo tuan, jangan malu
mumpung masih sepi"
pyar! ada suara gelas terbanting
pecahlah langit
tumpah pula hujan
"Tuan, berlindunglah dari hujan
kami punya cukup banyak penghangat!"
segera payung dibuka
lantas menyusullah perempuan
"Tak baik di jalan sendirian
harus ada yang menemani tuan"
kepul asap rokok
aroma alkohol
dan alunan sayup musik dangdut
dari sebuah radio
suaranya mirip kaleng susu bekas
"Kenapa tuan diam saja?
Tenang sedikit tuan
jangan takut
tuhan sedang libur panjang"
byur! seekor katak nyebur ke got
berenang riang berkawinlah ia

Telaga Embun Pagi

selubung langit berjelaga
telaga embun pagi mengeruh
banjir darah, nanah dan tangis
luka sayat sebab angin

oh, jiwa-jiwa yang kesepian
ku hampiri engkau dalam keluhmu
tak perlu kau tanya lagi
kenapa redup mata sang mentari
berenanglah bersamaku
sebab rembulan tengah menanti di ujung kala

dan lihatlah
bathari durga tengah menari
sambil nyanyikan kemenangan
isilah lumbung-lumbungmu
sebelum ia membakarnya pula

dan adalah keniscayaan
ketika engkau harap
yakinlah

Maaf, Tuhan

Maaf, Tuhan
Sebelum palu diketok di atas meja pengadilan
izinkan aku sebentar interupsi
Sebab,
ada kutu yang menempel di palu Pak Hakim
izinkan saya menyingkirkan sebentar
sebelum ia terlindas kencang oleh palu Pak Hakim

Maaf, Tuhan
Terlalu lama sidang ini
aku harus interupsi lagi
bolehkah saya sekadar buang hajat?
Ya, sebab
kalau ditahan tentu akan melanggar hukum alam
dan penyakitlah jadinya

Maaf, Tuhan
Aku terpaksa interupsi lagi
Pak Hakim sudah kelelahan
membaca pasal dan ayat-ayat
yang ia jatuhkan sebagai
dasar hukum
saya ingin segera vonis saya jatuh

Maaf, Tuhan
Dosakah saya terlalu sering menginterupsiMu?
Sebab,
aku lihat masih banyak tikus berkeliaran
di dalam ruang sidang
aku jadi ingin muntah

Maaf, Tuhan
Saya interupsi lagi
Pak Hakim kemana pergi?
Buru-buru aku disekap dalam ruang penjara
sebab,
mereka salah tangkap

Maaf, Tuhan
saya hanya mencuri pisang goreng
yang harganya cuma 500 rupiah
besar mana dosanya Tuhan
dengan seekor tikus
yang mempu membuat rubuh jembatan layang
dan membuat jebol gedung DPR

Maaf, Tuhan
saya kebanyakan ngomong....

Tentang Kemenangan dan Kekalahan

Kemenangan sebenarnya bagiku
adalah saat aku dapat buktikan
aku mampu taklukkan Engkau
dengan cinta
Sementara kekalahan terbesarku
adalah ketika aku merasa
betapa besar cintaku pada-Mu

Kenapa [Harus] Malu [?]

Telanjur aku lahir dan dibesarkan di sini
di negeri yang semakin lama semakin tak karuan
telanjur aku ada,
tanpa bisa aku tolak
telanjur aku,

Kita punya negeri memang tak begitu hebat
tapi apa perlu kita malu?

Kita punya negeri memang tidak membuat kita bangga
tapi apa kita perlu malu?

Tidak.
sebab memang beginilah
carut marut

ah, andai saja dapat aku sampaikan
pada George Wahington aku ingin bertanya
perlukah aku berbuat untuk negaraku?
sedang di sini,
negeriku

negara telah memperkosa kami
negara telah merampas hak kami
negara telah melucuti kami
negara telah memeras kami
negara telah membunuh kami
negara bahkan tidak memberi kami kesempatan
untuk berbuat

aku hanya mampu berbuat
tapi bukan untuk negara
bukan untuk siapa-siapa
hanya aku,

jangan cemberut macam itu, George
kau tak dilahirkan di sini
mungkin kau tak cukup mengerti
tak begitu kenal

lihat di sana
wanita tua kembali pulang ke rumah
dengan sebuah dirigen kosong ia lambaikan
dan dengar,
"Ah, zaman sekarang semua serba susah." katanya

George, kau ingin dengar cerita lain
seorang pejabat kemarin ditangkap
katanya karena suap

itulah George
yang membuat aku tak cukup luang
aku hanya satu
di antara mereka
penganggur

Ah, George?
kau bisa tawarkan aku pekerjaan?
apa sajalah
tak perlu halal haram
harampun jadilah
Gila!!!!

Tuhan

Tuhan...
jika ada dosa melekat pada diri saya
biarlah saja

dan jika ada pahala bertengger
di pundak saya,
maka itu adalah beban bagi saya

Tuhan...
masih aku cari pintu-pintu surga
namun,
mungkin...
aku takut untuk mengetuknya
sebab,
aku lebih suka menggali lubang
kesengsaraanku sendiri
dan
menguburkan segala kebaikan
yang Engkau ajarkan

maka,
Tuhan...
ampuni hamba
untuk tidak memilih surga-Mu

Antara Tuhan dan Agama

Kalau saja saya boleh memilih,
antara Tuhan dan Agama
maka aku lebih memilih Tuhan
Sebab,
Tuhan tunggal
dan Agama terlalu banyak buatku
Agama terlalu memberikan penafsiran
yang berbeda tentang Tuhan
tapi pada dasarnya
memiliki ajaran tunggal
tentang kebaikan

Kalau saja saya boleh memilih,
antara Tuhan dan Agama
mungkin aku lebih ingin berdekatan dengan Tuhan
sebab, berdekat dengan agama
hanya membawa debat
yang tak pernah selesai
bahkan hanya berbuah tudingan

Ah, andai saja tidak ada agama
mungkin Tuhan tidak seprimadona sekarang ini
ahmadiyah dicerca
MUI kalang kabut
dan semua ikut mengomeli

siapa salah?
Tuhankah?
Aku?
Kamu?
Mereka?
atau semuanya?

mungkin tidak akan ada dalam soal ujian nanti
kenapa harus aku tanyakan?
bodoh....
dan Tuhan pun tidak pernah keluar dalam soal ujian kok...
sebab ujian hanya rekayasa formulasi kecerdasan otak manusia
dan jika memakai otak,
Tuhan tidak dapat terejawantahkan
yang ada hanya bantahan

ah,
Tuhan....
Mungkin saat ini Ia sedang tertawa