23 April 2008

Doa Seorang Koruptor

'ssstt...istriku sedang tidur...
Tuhan, tolong jangan Engkau tegur aku
dalam hentakan halilintar
aku takut istriku segera bangun
karena aku tak tega melihat ia
dengan janin dirahimnya ikut terbangun'

'sekali ini Tuhan,
jangan Engkau kirim aku
sepasukan orang berseragam
lengkap dengan pistol dan borgol
gedor rumahku
sebab, aku tengah menunggui istriku
terbangun pagi nanti
agar dapat aku minta ia izinnya
besok pagi aku tidak dapat menemaninya
tak perlu banyak kata
izinku cukup terwakili dengan borgol
di pergelangan tanganku
dan sebandel uang di loker
serta beberapa nomor rekening
cukup pula untuk membahasakannya'

'dan satu hal lagi Tuhan,
aku ingin Engkau bisiki saja aku'

[Ribut Achwandi_Komunitas Godhong]

22 April 2008

Rindu Duri

rindu duri
setapak
malam kelam
dering lonceng
kleneng
ada burat jingga
di langit
engkaukah
yang datang
rindu duri
mata lelap
kesenyapan
menyapa
entah angin
ataukah embun pagi
rindu duri
ada yang tak lengkap
sarapan pagi
panggang roti
dan daging berlumur mentega
siapakah yang tengah melenyapkannya
oh rinduku
berduri

[Ribut Achwandi_Komunitas Godhong]

Kejujuran Itu Mahal Harganya

Kejujuran di negeri ini memang harus diakui sudah menjadi barang yang sangat mahal harganya. Ia kemudian seolah menjadi barang antik yang menyimpan berbagai keunikan. Sebab, kejujuran sudah terlalu langka untuk dapat ditemukan di negeri ini. Mari kita melihat sebentar pada sebuah kenyataan yang ada. Bayangkan dan coba pikirkan, di negeri ini untuk menjamin kerahasiaan dan mengantisipasi kebocoran soal ujian, dinas pendidikan kita terpaksa harus 'sewa' polisi untuk melek selama 24 jam hanya untuk menunggui tumpukan kertas soal. Jelas, ini tidak murah ongkosnya. Namun kenapa hal ini harus dilakukan, lebih-lebih untuk sebuah tujuan mulia negeri ini yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa ini?

Saya jadi berpikir, untuk sebuah tujuan pendidikan saja, kejujuran ternyata susah ditemukan. Lantas bagaimana dengan yang lain?

Jangan-jangan, memang bangsa ini memang sudah tidak mampu mendidik atau justru sebaliknya tidak mau dididik tentang kejujuran? Karena, untuk lembar-lembar soal saja pemerintah harus bayar mahal dengan menugasi polisi untuk bergadang menunggui soal-soal. Kasihan polisi juga kan? Tentu, ia juga punya keluarga yang lebih membutuhkannya. Keluarga yang menginginkan kehangatan dengan kehadirannya di tengah-tengah mereka lebih-lebih setekah jam kerja. Apa kita tidak kasihan pula kalau suatu waktu nanti itu polisi terserang penyakit. Siapa yang akan menggantikan tugasnya sebagai seorang kepala keluarga? Anda? Tentu, tidak bukan? Nah, saatnya yuk kita jujur....

Saya yakin, kita mampu kok belajar jujur dari pada belajar untuk tidak jujur. Sebab, ketidakjujuran itu sudah tidak patut untuk dipelajaro lagi. Itu ilmu kuno. Bahkan itu sudah sering kali kita hafalkan benar. Setiap hari kita sudah langsung praktik tanpa teori. Saya tidak akan menuduh siapa-siapa. Sebab dengan menuduh itu sama artinya kita tidak jujur. Nah, ayo semuanya....mari kita ulang pelajaran membaca kita dari awal kita mengenal bangku sekolah. Sebab, ketika kita mulai belajar mengeja ada sebuah ketulusan di sana.... Anda mau kan belajar jujur?

Tentang Sebatang Rokok

kreket....kreket....
dompet kumal ku buka
selembar uang ku tukar
dengan kematian
sebungkus rokok,
korek api,
sisanya permen dan air mineral
satu botol

kresek...kresek....
ku buka segel plastik
berbenang merah warnanya
set....
satu batang rokok
aku hunus dari bungkusnya

lalu,

jres....
nyala api menyambut
kretek...kretek....
asap pertama
mengepul

'siapa kira
kita akan dipertemukan lagi' katamu

'ah, biasa sajalah
mumpung hari belum
terlalu menyeret matahari
hingga memaksanya tak menyembul lagi'

'apa kabar dunia?
kau dengat kabarnya hari ini?' tanyamu

'aku dengar
dunia tak lagi bersuara'

'kata siapa?' aku balas tanya

'banyak orang membungkamnya
dunia tak boleh membeberkan
rahasia Tuhan' katamu

'sebab
sekali terbongkar,
musnahlah kehidupan
dan
manusia tak lagi punya pekerjaan'

'bukankah manusia sedang sibuk
mengorek rahasia Tuhan?' tanyaku

'mereka sedang sibuk
mengakui dirinya benar
mereka sibuk berkampanye
tentang kebenaran versi mereka sendiri
mereka sibuk membungkam kesaksisan dunia'

'lantas kemana Tuhan?'

'Tuhan....?
Tuhan jadi barang jualan manusia
mereka seolah bertempur
atas nama Tuhan
tapi siapa yang tahu
mereka tak sedikitpun menghamba'

'dosa....ini dosa!!'

'dosa?
mereka sudah beragama
kata mereka tak perlu takut
dosa kalau sudah beragama'

'sesat...kau sesat, kawan!'

'aku hanya sedang sakau
ah, kau tak ubahnya mereka
bukankah kesesatan milik mereka
yang mengaku ber-Tuhan
tapi tak mampu temukan jalan
kembali pulang pada-Nya?'

'jangan terlalu sumbar, kawan
nikmati saja rokokmu
dan mari kita lihat
sebentar lagi drama kehidupan
akan semakin ramai'

'lihat!'

'pasar malam segera dibuka
manusia berjualan Tuhan
di sana
mereka juga mengobral surga
diskon 80 persen katanya
dan semua jenis eloknya surga
dipampang di sana'


Ribut Achwandi_Komunitas Godhong

21 April 2008

Secangkir Kopi

secangkir kopi
sebatang rokok
berlabuhlah aku
dalam gelisah

secangkir kopi
pagi yang ditemani
jelaga mendung
masih ada tanya
yang tak kunjung ku jawab

kopi mengendap
lambat laut debulah ia menjadi
merupa dalam pekat
tanah yang menggeliat
oleh sapuan angin
dan hujan turun
tanah becek
ada darah segurat
dalam alir air hujan
siapa terbunuh?
kopi pahit tumpahlah ia
di meja ruang tamu
segerombol orang mencaci
lalu menghakimi
'Dia sesat!'
kata mereka
lalu menyeretku
dan membanting cangkir kopi
secangkir kopi imanku
tak lagi bicara
pahit berganti asin
darah mengucur dari hidung
aku sebentar lagi mati
demi secangkir kopi

Kethoprak "Putri Cina" Semangat Multikulturalisme

Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional merupakan sebuah momentum besar yang akan segera menjadi sebuah titik balik bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi polemik kebangsaan yang akhir-akhir ini kembali mencuat ke permukaan. Pertarungan politik antar kelompok-kelompok tertentu, pertikaian partai dan masalah bagi-bagi kekuasaan yang tidak kunjung mereda malah menjadi semakin memanas. Hal inilah yang kemudian semakin membuat rakyat tidak percaya kepada pemerintah.

Namun sebenarnya, di balik masalah-masalah tersebut ada sebuah masalah yang lebih penting yang mungkin sampai saat ini tidak pernah ada upaya dari semua pihak untuk menyelesaikannya. Bahkan pemerintah sendiri seolah berpangku tangan terhadap masalah ini. Pemerintah justru lebih memasalahkan hal-hal yang lebih bersifat praksis. Masalah ekonomi, politik dengan mengesampingkan masalah sosial dan budaya yang kemudian terkena imbas dari persoalan-persoalan tersebut.

Beberapa kalangan menilai usaha untuk melakukan pelurusan sejarah dalam hubungannya dengan budaya sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk kembali mencari jati diri bangsa ini. Mengingat sejarah budaya bangsa ini semakin hari semakin jauh menyimpang dari fakta-fakta yang ditemukan khususnya hubungannya dengan polemik multikulturalisme antara kutub-kutub budaya yang berbeda yang mau tidak mau harus diakui sebagai pemerkaya khazanah budaya bangsa. Di sisi lain, permasalahan budaya, sejak masa orde baru seolah menjadi masalah yang kesekian. Dengan demikian, masalah-masalah budaya dipandang tidak begitu penting oleh kekuasaan. Padahal, sebagaimana pernah dikatakan oleh Gus Dur, bangsa ini seharusnya dibangun di atas pondasi-pondasi yang kuat bukan pada pembangunan fisik yang lebih menonjolkan aspek rekayasa estetik yang lebih mengesampingkan wilayah filosofis bangsa.

Tampaknya, upaya pelurusan sejarah budaya ini akan semakin menemui kendala besar dari tekanan-tekanan politisi yang mulai bermain dengan kekuasaannya. Namun demikian, secara optimistis kalangan budaya ini tidak pernah menyerah begitu saja. Salah satu bukti yang mungkin dapat dijadikan contoh ialah pementasan kethoprak dengan lakon "Putri Cina" yang merupakan saduran dari novel karya romo sastra Sindhunata yang akan segera dipentaskan di kota nederland kecil, 27 April mendatang. Pementasan yang akan dimeriahkan dengan sederet nama seniman kenamaan sebut saja Marwoto, Kirun, Den Baguse, dan sederet sastrawan papan atas seperti Timur Sinar Suprabana, Triyanto Triwikromo, Darmanto Jatman, Eko Budiharjo, dan sebagainya sepertinya akan kembali menggugah semangat kebangkitan nasional yang akhir-akhir ini mulai surut. Dalam jumpa pers-nya hari kemarin (Jumat, 18 April) Haryanto K. Halim (Ketua Kopisemawis) mengungkapkan, "Rangkaian kegiatan peringatan 100 tahun kebangkitan nasional ini merupakan sebuah reflkeksi kegelisahan budaya yang akan diaktualisasikan dalam sebuah pementasan dan bedah buku 'Putri Cina' karya Sindhunata. Selain itu, rangkaian kegiatan ini sekaligus sebagai upaya penyadaran masyarakat mengenai semangat multikulturalisme yang akhir-akhir ini mulai surut."

Bahkan Triyanto Triwikromo yang hadir dalam jumpa pers tersebut menambahkan, "Persoalan budaya terutama budaya bangsa ini sebenarnya sejak dulu dibangun atas prakarsa bersama yang mengedepankan semangat kebersamaan. Namun dalam perjalanannya dalam sejarah bangsa ini terjadi gejolak yang tidak dapat dinafikkan lagi, selalu ada korban yang harus dijatuhkan demi kepentingan-kepentingan elite politik. Di dalam Putri Cina, Sindhunata kembali menguak tabir sejarah mengenai perjalanan etnis Cina ini yang selalu dijadikan kambing hitam dalam proses politik. Dengan sentuhan rekayasa estetik, kehadiran etnis Cina selalu dieliminir dan bahkan didiskreditkan di hadapan publik sebagai biang kerok carut marutnya bangsa ini. Padahal, tidak sedikit sumbangan yang sudah mereka berikan terhadap budaya bangsa ini. Salah satu buktinya, berbagai bentuk-bentuk kesenian baik itu tari, seni rupa maupun sastra terkadang atau malah sering kali kita jumpai adanya sentuhan oriental yang terwujud baik dari segi kostum maupun elemen-elemen lainnya.Hal yang demikian seharusnya menjadi sebuah pelajaran penting bagi bangsa ini untuk lebih menghargai sesama. "

Dalam perjalanan panjang sejarah bangsa ini memang harus diakui etnis Cina sering dicundangi. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman masa lalu di zaman Brawijaya yang menceraikan istrinya yang notabene seorang putri Cina yang secara tidak langsung juga berpengaruh pada kelangsungan hidup Majapahit selanjutnya. Perebutan kekuasaan yang digerakkan oleh Raden Fatah pun, di dalamnya terdapat wacana mengenai putri Cina ini. Masa penjajahan Belanda, merupakan masa-masa yang sangat pahit bagi pendatang dari jauh ini. Kebijakan pemerintahan kolonial yang mencoba mengkotakkan etnis Cina ini telah melahirkan pertempuran batin yang sengit bahkan ini diwujudkan dalam sebuah tradisi Seton yang diterapkan kalangan kerajaan Mataram Surakarta. Belanda pada masa itu memang telah membentuk pemerintahan yang sedemikian kuatnya. Mereka mencoba memonopoli kekuasaan di segala aspek kahidupan, tidak terkecuali ekonomi. Penguasaan bidang ekonomi ini mau tidak mau telah menautkan masalah-masalah budaya yang dibentuk sedemikian rupa dengan tujuan memporandakan bangunan budaya. Hal serupa juga terjadi ketika masa-masa awal kemerdekaan. Kalangan militer mencoba menyeret pengusaha Cina ke dalam pertarungan politik yang dimotori oleh kekuatan-kekuatan partai. Bahkan, kalangan militer inilah yang kemudian mencoba menjebloskan mereka ke dalam penjara dengan dalih mereka adalah antek-antek komunis koumintang di bawah bayang-bayang Mao. Stigma ini rupanya berhasil dilakukan dan diteruskan sampai masa orde baru yang sedemikian kuatnya. Namun di sisi lain, penguasa orde baru ini juga bermain mata dengan kalangan konglomerat Cina. Ironis memang, namun itulah politik. Di akhir masa era orde baru, etnis Cina kembali menjadi sasaran. Bahkan dengan membabibuta, etnis ini kemudian harus menanggung duka mendalam dari sebuah proses politik yang tidak diketahunya. Bagaimana dengan sekarang?

Saya kira, sudah selayaknya kita mulai berkaca kembali dari sejarah yang carut-marut ini. Dengan demikian diharapkan 'Putri Cina' tidak kembali terpuruk menagis di hadapan perahu Ceng Ho dan meminta sang panglima besar ini untuk mengembalikannya ke tanah asal mereka. Harus diakui etnis Cina merupakan pengelana yang tangguh. Seharusnya pula kita belajar dari mereka. Bahkan dalam sebuah hadist disebutkan "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina." Tentu hadist tersebut memiliki makna mendalam dari sebuah pengalaman nabi Muhammad dan sudah barang tentu pula, Muhammad memiliki alasan yang kuat. Namun kenapa kita tidak pernah mau menggalinya? [Ribut Achwandi_Komunitas Sastra Godhong]

Sang Guru

Ia hidup, entah, pada masa yang sangat sulit untuk dijelaskan, di sebuah tempat yang sulit untuk dikenali pula. Ia, sang Guru, yang melampaui batas-batas zaman dan terlepas dari kendali dimensi. Ia benar-benar manusia pilihan yang mengajarkan segala sesuatu yang tak diajarkan.

Suatu hari, sang Guru yang tengah duduk-duduk di atas batu besar, datanglah seorang petani tua dan bertanya, “Kemanakah hendak engkau pergi, wahai sang pengembara?”

Sang Guru tersenyum, “Aku ingin pergi menuju rumahmu.”

Petani tua tak mengerti.

“Aku ingin menengok anak-anakmu, Pak tua.”

“Anak-anakku?” Tanya si petani tua.

Sang Guru menyila si petani tua itu duduk di sampingnya. “Duduklah sebentar bersamaku. Nikmatilah dulu kuyup keringatmu, lantas biarkan udara yang hangat itu memberi waktu untuk pori-pori kulitmu bekerja menyerap kesegarannya.”

“Tetapi, aku tak punya anak satupun, wahai sang pengembara,” kata petani tua.
Sang Guru tegun. Diam namun garis lekuk pipinya menampakkan terang cahaya. Ulas senyumnya pun tak luput lagi.

Petani tua mengipaskan topi lusuhnya, “Kau sendiri, kenapa tak pernah berhenti mengembara? Tidakkah kau lelah?”

“Ya, karena itulah aku ingin sekali istirahatkan diriku di rumahmu. Dan anggaplah ini sebagai istirahku yang terakhir. Tujuan akhirku.”

“Oh malangnya aku yang tak berpunya ini. Andai kata aku memiliki sepetak tanah, dan sebidang ladang tempatku menanam pohon buah-buahan mungkin akan aku silakan engkau memetiknya beberapa biji. Tapi, jangankan sepetak tanah, pohon tempatku hinggap untuk berteduh dalam terik dan hujan pun tak ku punya. Aku hanya tinggal di sebuah kandang sapi.”

“Kandang?”

“Ya, kandang sapi. Dan di sana pula aku menelentangkan tubuhku dan tempatku mendengkur pula.” Pak Tani terdiam sebentar, udara yang tadi pengap tak dirasanya pula kini. “Sudah bertahun-tahun lamanya, aku hidup dalam serba kesulitan. Tak ada yang berubah kecuali rambut yang kian beruban dan kulit yang mengeriput. Tak ada sedikitpun angina kesegaran yang mengabarkan tentang kabar baik tentang nasib.”

Sang Guru tak sedikitpun berucap kata-kata. Ia membiarkan pak tua itu mencerca hidupnya, nasibnya. Ia membiarkan seperti ia memandangi aliran air sungai yang berujung pada muara. Dan semakin manjadi saja si petani tua itu menyalahkan waktu, mempersalahkan zaman, dan nasibnya yang tak beruntung. Tak ada ruang kosong yang tak ia isi dengan kata. Kata yang meluncur dari mulutnya yang berujar tentang fakta. Fakta yang terlahir dari sebuah keberadaan. Dan keberadaan yang tersaji dari sesuatu yang kasat mata. Lantas ia melumpuhkan sesuatu yang bernama makna.

Sungguhpun demikian, itulah kenyataan. Anak manusia kadang lupa dengan Bapaknya, kadang pula lupa akan dirinya sendiri. Tapi di dalam darahnya, tetap mengalir darah Ibunya. Maka sungguh, seorang anak manusia tak akan mampu melupakan muasalnya. Ibunya. Bukankah susu yang ia minum, ketika bayi, adalah tak lain darah Ibunya? Bukankah pula tempat awal ia mulai terlindungi juga tak lain adalah rahim Ibu? Ya, rahim yang maha kasih. Tempat sang ruh terlindungi dari godaan setan-setan jahanam. Rahim tempat nyawa bersembunyi dari kekejaman dunia.

“Aku terlahir, juga di kandang sapi. Ketika itu Bapak dan Ibuku meninggal seketika begitu mendengar tangis pertamaku. Kata orang-orang, mereka takut, sangat ketakutan akan adanya aku,” kisah si petani tua.

“Kenapa?”

“Kata orang-orang, mereka takut tak dapat mengurusku dengan baik.”

“Mulia betul Bapak Ibumu.”

“Bagaimana bias?” petani tua itu mendadak mendongakkan kepala. Dan berdiri di samping sang Guru.

“Ia lebih memilih mengorbankan diri mereka daripada engkau.”

“Tapi aku sama telantarnya pula.”

“Itulah yang mereka ajarkan padamu. Kasih sayang, belum tentu manis rasanya. Kadang sepah, kadang pula pahit melebih dari kebencian dan dendam.”

“Bukankah itu egois?”

“Kau pernah menanyakan hal itu pada Bapak Ibumu?”

Pak tani tua itu terdiam.

“Bagaimana kau bisa tahu. Barangkali saja itu cara mereka mengajarkanmu. Dan memang itu bukanlah pilihan yang tepat. Tapi itulah yang mereka ingin ajarkan tentang hidup. Kau adalah dirimu sendiri.”

Sesaat diam. Dan angin menyela.

"Izinkan aku bertandang ke dalam hatimu. Sebab, masih banyak yang harus aku temuui di dalam dirimu. Anak-anakmu, keluargamu."

"Bukankah sudah aku katakan, aku tak punya anak dan keluarga."

"Kau memiliki semuanya, Pak tua. Sawah ladang adalah anak-anakmu. Keringatmu adalah keluargamu. Dan rumahmu adalah hatimu tempat Tuhan menanamkan cinta pada ruhmu."

Tiba-tiba hujan deras mengguyur dan sang guru menghilang.

Kata Guruku

seorang guru pernah bilang padaku
belajarlah kau agar pintar

aku semula mengangguk tanpa kata

lalu dia bilang
kalau kau pintar bapak juga ikut bangga

aku mulai tersenyum

kemudian dia cakap lagi
sebab orang pintar dinegeri ini masih sedikit

aku mulai tertawa geli

dan dia bilang
dan semakin sedikit, semakin istimewa pula

aku tertawa

guruku bingung
lalu ditanyalah aku
kenapa kau justru tertawa macam itu

aku jawab dalam hati
saking sedikitnya orang pintar
jelas semakin banyak kesempatan orang
buat korupsi

Tuhan Sedang Libur Panjang

Jalan Raden Saleh belok kanan
lengang tak bersuara
desah air becek di gang yang sempit
sekali terdengar
ada sepasang sandal jepit
menepuk genangan air bekas hujan semalam
tawa bersambut sahut
"Hai ada yang datang"
kata seorang perempuan
sampil menjinjing tinggi
bagian bawah daster berwarna ungu
"mampirlah tuan, kami buka biar hujan begini
24 jam! Non stop!"
Kleneng kleneng
bel becak membahana
bersambut tawa yang membelah kepingan sepi
"Ayo tuan, jangan malu
mumpung masih sepi"
pyar! ada suara gelas terbanting
pecahlah langit
tumpah pula hujan
"Tuan, berlindunglah dari hujan
kami punya cukup banyak penghangat!"
segera payung dibuka
lantas menyusullah perempuan
"Tak baik di jalan sendirian
harus ada yang menemani tuan"
kepul asap rokok
aroma alkohol
dan alunan sayup musik dangdut
dari sebuah radio
suaranya mirip kaleng susu bekas
"Kenapa tuan diam saja?
Tenang sedikit tuan
jangan takut
tuhan sedang libur panjang"
byur! seekor katak nyebur ke got
berenang riang berkawinlah ia

Telaga Embun Pagi

selubung langit berjelaga
telaga embun pagi mengeruh
banjir darah, nanah dan tangis
luka sayat sebab angin

oh, jiwa-jiwa yang kesepian
ku hampiri engkau dalam keluhmu
tak perlu kau tanya lagi
kenapa redup mata sang mentari
berenanglah bersamaku
sebab rembulan tengah menanti di ujung kala

dan lihatlah
bathari durga tengah menari
sambil nyanyikan kemenangan
isilah lumbung-lumbungmu
sebelum ia membakarnya pula

dan adalah keniscayaan
ketika engkau harap
yakinlah

Maaf, Tuhan

Maaf, Tuhan
Sebelum palu diketok di atas meja pengadilan
izinkan aku sebentar interupsi
Sebab,
ada kutu yang menempel di palu Pak Hakim
izinkan saya menyingkirkan sebentar
sebelum ia terlindas kencang oleh palu Pak Hakim

Maaf, Tuhan
Terlalu lama sidang ini
aku harus interupsi lagi
bolehkah saya sekadar buang hajat?
Ya, sebab
kalau ditahan tentu akan melanggar hukum alam
dan penyakitlah jadinya

Maaf, Tuhan
Aku terpaksa interupsi lagi
Pak Hakim sudah kelelahan
membaca pasal dan ayat-ayat
yang ia jatuhkan sebagai
dasar hukum
saya ingin segera vonis saya jatuh

Maaf, Tuhan
Dosakah saya terlalu sering menginterupsiMu?
Sebab,
aku lihat masih banyak tikus berkeliaran
di dalam ruang sidang
aku jadi ingin muntah

Maaf, Tuhan
Saya interupsi lagi
Pak Hakim kemana pergi?
Buru-buru aku disekap dalam ruang penjara
sebab,
mereka salah tangkap

Maaf, Tuhan
saya hanya mencuri pisang goreng
yang harganya cuma 500 rupiah
besar mana dosanya Tuhan
dengan seekor tikus
yang mempu membuat rubuh jembatan layang
dan membuat jebol gedung DPR

Maaf, Tuhan
saya kebanyakan ngomong....

Tentang Kemenangan dan Kekalahan

Kemenangan sebenarnya bagiku
adalah saat aku dapat buktikan
aku mampu taklukkan Engkau
dengan cinta
Sementara kekalahan terbesarku
adalah ketika aku merasa
betapa besar cintaku pada-Mu

Kenapa [Harus] Malu [?]

Telanjur aku lahir dan dibesarkan di sini
di negeri yang semakin lama semakin tak karuan
telanjur aku ada,
tanpa bisa aku tolak
telanjur aku,

Kita punya negeri memang tak begitu hebat
tapi apa perlu kita malu?

Kita punya negeri memang tidak membuat kita bangga
tapi apa kita perlu malu?

Tidak.
sebab memang beginilah
carut marut

ah, andai saja dapat aku sampaikan
pada George Wahington aku ingin bertanya
perlukah aku berbuat untuk negaraku?
sedang di sini,
negeriku

negara telah memperkosa kami
negara telah merampas hak kami
negara telah melucuti kami
negara telah memeras kami
negara telah membunuh kami
negara bahkan tidak memberi kami kesempatan
untuk berbuat

aku hanya mampu berbuat
tapi bukan untuk negara
bukan untuk siapa-siapa
hanya aku,

jangan cemberut macam itu, George
kau tak dilahirkan di sini
mungkin kau tak cukup mengerti
tak begitu kenal

lihat di sana
wanita tua kembali pulang ke rumah
dengan sebuah dirigen kosong ia lambaikan
dan dengar,
"Ah, zaman sekarang semua serba susah." katanya

George, kau ingin dengar cerita lain
seorang pejabat kemarin ditangkap
katanya karena suap

itulah George
yang membuat aku tak cukup luang
aku hanya satu
di antara mereka
penganggur

Ah, George?
kau bisa tawarkan aku pekerjaan?
apa sajalah
tak perlu halal haram
harampun jadilah
Gila!!!!

Tuhan

Tuhan...
jika ada dosa melekat pada diri saya
biarlah saja

dan jika ada pahala bertengger
di pundak saya,
maka itu adalah beban bagi saya

Tuhan...
masih aku cari pintu-pintu surga
namun,
mungkin...
aku takut untuk mengetuknya
sebab,
aku lebih suka menggali lubang
kesengsaraanku sendiri
dan
menguburkan segala kebaikan
yang Engkau ajarkan

maka,
Tuhan...
ampuni hamba
untuk tidak memilih surga-Mu

Antara Tuhan dan Agama

Kalau saja saya boleh memilih,
antara Tuhan dan Agama
maka aku lebih memilih Tuhan
Sebab,
Tuhan tunggal
dan Agama terlalu banyak buatku
Agama terlalu memberikan penafsiran
yang berbeda tentang Tuhan
tapi pada dasarnya
memiliki ajaran tunggal
tentang kebaikan

Kalau saja saya boleh memilih,
antara Tuhan dan Agama
mungkin aku lebih ingin berdekatan dengan Tuhan
sebab, berdekat dengan agama
hanya membawa debat
yang tak pernah selesai
bahkan hanya berbuah tudingan

Ah, andai saja tidak ada agama
mungkin Tuhan tidak seprimadona sekarang ini
ahmadiyah dicerca
MUI kalang kabut
dan semua ikut mengomeli

siapa salah?
Tuhankah?
Aku?
Kamu?
Mereka?
atau semuanya?

mungkin tidak akan ada dalam soal ujian nanti
kenapa harus aku tanyakan?
bodoh....
dan Tuhan pun tidak pernah keluar dalam soal ujian kok...
sebab ujian hanya rekayasa formulasi kecerdasan otak manusia
dan jika memakai otak,
Tuhan tidak dapat terejawantahkan
yang ada hanya bantahan

ah,
Tuhan....
Mungkin saat ini Ia sedang tertawa