21 April 2008

Sang Guru

Ia hidup, entah, pada masa yang sangat sulit untuk dijelaskan, di sebuah tempat yang sulit untuk dikenali pula. Ia, sang Guru, yang melampaui batas-batas zaman dan terlepas dari kendali dimensi. Ia benar-benar manusia pilihan yang mengajarkan segala sesuatu yang tak diajarkan.

Suatu hari, sang Guru yang tengah duduk-duduk di atas batu besar, datanglah seorang petani tua dan bertanya, “Kemanakah hendak engkau pergi, wahai sang pengembara?”

Sang Guru tersenyum, “Aku ingin pergi menuju rumahmu.”

Petani tua tak mengerti.

“Aku ingin menengok anak-anakmu, Pak tua.”

“Anak-anakku?” Tanya si petani tua.

Sang Guru menyila si petani tua itu duduk di sampingnya. “Duduklah sebentar bersamaku. Nikmatilah dulu kuyup keringatmu, lantas biarkan udara yang hangat itu memberi waktu untuk pori-pori kulitmu bekerja menyerap kesegarannya.”

“Tetapi, aku tak punya anak satupun, wahai sang pengembara,” kata petani tua.
Sang Guru tegun. Diam namun garis lekuk pipinya menampakkan terang cahaya. Ulas senyumnya pun tak luput lagi.

Petani tua mengipaskan topi lusuhnya, “Kau sendiri, kenapa tak pernah berhenti mengembara? Tidakkah kau lelah?”

“Ya, karena itulah aku ingin sekali istirahatkan diriku di rumahmu. Dan anggaplah ini sebagai istirahku yang terakhir. Tujuan akhirku.”

“Oh malangnya aku yang tak berpunya ini. Andai kata aku memiliki sepetak tanah, dan sebidang ladang tempatku menanam pohon buah-buahan mungkin akan aku silakan engkau memetiknya beberapa biji. Tapi, jangankan sepetak tanah, pohon tempatku hinggap untuk berteduh dalam terik dan hujan pun tak ku punya. Aku hanya tinggal di sebuah kandang sapi.”

“Kandang?”

“Ya, kandang sapi. Dan di sana pula aku menelentangkan tubuhku dan tempatku mendengkur pula.” Pak Tani terdiam sebentar, udara yang tadi pengap tak dirasanya pula kini. “Sudah bertahun-tahun lamanya, aku hidup dalam serba kesulitan. Tak ada yang berubah kecuali rambut yang kian beruban dan kulit yang mengeriput. Tak ada sedikitpun angina kesegaran yang mengabarkan tentang kabar baik tentang nasib.”

Sang Guru tak sedikitpun berucap kata-kata. Ia membiarkan pak tua itu mencerca hidupnya, nasibnya. Ia membiarkan seperti ia memandangi aliran air sungai yang berujung pada muara. Dan semakin manjadi saja si petani tua itu menyalahkan waktu, mempersalahkan zaman, dan nasibnya yang tak beruntung. Tak ada ruang kosong yang tak ia isi dengan kata. Kata yang meluncur dari mulutnya yang berujar tentang fakta. Fakta yang terlahir dari sebuah keberadaan. Dan keberadaan yang tersaji dari sesuatu yang kasat mata. Lantas ia melumpuhkan sesuatu yang bernama makna.

Sungguhpun demikian, itulah kenyataan. Anak manusia kadang lupa dengan Bapaknya, kadang pula lupa akan dirinya sendiri. Tapi di dalam darahnya, tetap mengalir darah Ibunya. Maka sungguh, seorang anak manusia tak akan mampu melupakan muasalnya. Ibunya. Bukankah susu yang ia minum, ketika bayi, adalah tak lain darah Ibunya? Bukankah pula tempat awal ia mulai terlindungi juga tak lain adalah rahim Ibu? Ya, rahim yang maha kasih. Tempat sang ruh terlindungi dari godaan setan-setan jahanam. Rahim tempat nyawa bersembunyi dari kekejaman dunia.

“Aku terlahir, juga di kandang sapi. Ketika itu Bapak dan Ibuku meninggal seketika begitu mendengar tangis pertamaku. Kata orang-orang, mereka takut, sangat ketakutan akan adanya aku,” kisah si petani tua.

“Kenapa?”

“Kata orang-orang, mereka takut tak dapat mengurusku dengan baik.”

“Mulia betul Bapak Ibumu.”

“Bagaimana bias?” petani tua itu mendadak mendongakkan kepala. Dan berdiri di samping sang Guru.

“Ia lebih memilih mengorbankan diri mereka daripada engkau.”

“Tapi aku sama telantarnya pula.”

“Itulah yang mereka ajarkan padamu. Kasih sayang, belum tentu manis rasanya. Kadang sepah, kadang pula pahit melebih dari kebencian dan dendam.”

“Bukankah itu egois?”

“Kau pernah menanyakan hal itu pada Bapak Ibumu?”

Pak tani tua itu terdiam.

“Bagaimana kau bisa tahu. Barangkali saja itu cara mereka mengajarkanmu. Dan memang itu bukanlah pilihan yang tepat. Tapi itulah yang mereka ingin ajarkan tentang hidup. Kau adalah dirimu sendiri.”

Sesaat diam. Dan angin menyela.

"Izinkan aku bertandang ke dalam hatimu. Sebab, masih banyak yang harus aku temuui di dalam dirimu. Anak-anakmu, keluargamu."

"Bukankah sudah aku katakan, aku tak punya anak dan keluarga."

"Kau memiliki semuanya, Pak tua. Sawah ladang adalah anak-anakmu. Keringatmu adalah keluargamu. Dan rumahmu adalah hatimu tempat Tuhan menanamkan cinta pada ruhmu."

Tiba-tiba hujan deras mengguyur dan sang guru menghilang.

Tidak ada komentar: